Selasa, 12 April 2011

telaah undang-undang monopoli&oligopoli

telaah undang-undang monopoli&oligopoli

Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta meng­evaluasi pasar perdagangan yang dinilai makin mendekati pola monopoli atau oligopoli (pemodal besar).

Pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, praktik liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas oleh pe­merintah melalui Kemendag sudah memundurkan industri dalam negeri dan sektor pro­duktif lain.

Erani menganggap mindset Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu sudah sangat pro per­dagangan bebas dan me­kanis­me pasar seutuhnya. Apa­lagi pemerintah yakin dengan pola yang dijalankan saat ini bisa menjadi masa depan per­eko­nomian Indonesia.

Padahal, penghentian pene­rapan mekanisme pasar dan pemberlakuan pasar bebas bisa dimulai pemerintah dengan cara mengganti orang yang punya visi bertolak belakang dengan ekonomi konstitusi.

“Dalam hal ini, Menteri Per­daganganlah yang visinya ber­tolak belakang. Saya sangat setuju jika Mari Elka Pangestu diganti,” ujarnya.

Pusat Studi Ekonomi Ke­rakyatan (Pustek) Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam penelitiannya mendapati pe­dagang di pasar tradisional dan warung pinggir jalan meng­alami penurunan omzet rata-rata 10 persen.

Ini me­rupakan dam­pak pem- ba­­ngu­nan pasar mo­dern se­perti hy­permarket, su­permar­ket dan minimarket yang be­gitu pesat tanpa kontrol sam­pai pelosok pedesaan.

Pasar modern berekspansi di dalam negeri dengan bebas setelah adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Inter­nasional (IMF) serta sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Dalam hal ini, Indonesia dipaksa mem­buka pasar bagi ritel modern secara jor-joran.

Imbas perdagangan bebas yang kebablasan itu, menurut anggota Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana, membuat daya saing makin merosot. Terus membanjirnya produk impor juga menjadikan pelaku UKM (usaha mikro, kecil dan menengah) banyak yang gu­lung tikar.

“Saat ini tidak ada pedo­man atau pondasi yang kuat seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang sam­pai sekarang belum selesai di­kerjakan Kemen­dag,” kata Satrya.

Padahal, menurut dia, RUU itu konsepnya sudah dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Ke­mendag. Namun, RUU ter­sebut belum rampung juga padahal sudah berta­hun-tahun. Karena itu, sikap pe­merintah yang tidak ingin m­e­ram­pung­kan RUU tersebut sebagai buk­ti komit­men mereka terhadap WTO.

“DPR telah ber­kali-kali me­ne­gur pemerintah melalui rapat kerja dengan Kemendag. Sa­yang­nya, Ke­mendag selalu ber­alasan kalau rancangan tersebut belum se­lesai karena masih digodok atau dipersiapkan,” tukas Satrya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor barang Januari 2011 secara ke­se­luruhan naik 4,55 persen di­banding Desember 2010, atau naik 32,22 persen dibanding Januari 2010 terutama masih didominasi barang-barang non migas.

Total impor barang non migas selama bulan pertama 2011 tercatat 9,58 miliar dolar AS. Paling banyak berupa golongan barang mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan pera­latan listrik. Nilai impor go­longan barang mesin dan pera­latan mekanik sebanyak 1,72 miliar dolar AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar